Mendengarkan Saudara-saudari Kristen yang Lain

MIRIFICA.NET- Dalam rangka Sinode para uskup 2023, para teolog Katolik Indonesia berpartisipasi menuliskan refleksi-refleksi untuk membantu umat beriman mengalami dan menghayati Sinode yang saat ini sedang berlangsung di tingkat Keuskupan. Mari kita berefleksi bersama dalam tulisan yang diinspirasikan oleh tema kedua dari 10 tema sinode seperti termuat dalam vademecum sinode. Lihat Paus Fransiskus Membuka Sinode Para Uskup: Merayakan Sinode Berarti Berjalan di Jalan yang Sama

Tema Gereja Synodal: communio participatio dan missio yang sedang direnungkan oleh seluruh Gereja Katolik sungguh menarik. Meskipun dalam sinode-sinode sebelumnya selalu dibuat konsultasi kepada umat Katolik dalam persiapannya, konsultasi dalam persiapan sinode tahun 2023 ini rasanya lebih kuat lagi. Yang menarik, konsultasi dibuat bukan sekedar dalam bentuk pengumpulan pendapat, tetapi  proses konsultasi sendiri dikerjakan dalam proses sinodal. Artinya apa yang akan dibicarakan harus dilaksanakan juga. Proses seperti menjadi ajang praksis itu sendiri dan sekaligus sudah menjadi proses internalisasi sebelum dibicarakan lebih lanjut dalam Sinode.

Inti dari proses sinodal ini terletak pada proses menyadari jati diri Gereja sebagai persekutuan yang berjalan bersama, menyadari kelemahan dan tantangan, serta mendengarkan suara Roh Kudus yang akan menuntun Gereja dalam perjalanan untuk semakin menjadi wajah dan sakramen Gereja Kristus (bdk. LG 1). Secara konsiten kesiapsediaan mendengarkan ditekankan sebagai sikap dasar dalam Gereja yang berjalan bersama ini. Mendengarkan berarti memperhatikan yang lain dan memberi kesempatan teman seperjalanan untuk berbicara. Itu menuntut pertobatan segenap Gereja, sebab sering kali ada suara-suara yang tidak terdengar: baik di kalangan Gereja Katolik sendiri seperti kaum perempuan, kaum muda, awam mereka yang lemah, orang yang berseberangan pendapat, mereka yang terluka,  dst, maupun dari lingkungan ‘di luar’ Gereja Katolik seperti: Gereja-gereja atau komunitas gerejani lain, masyarakat, pemerintah dsb.

Muncul pertanyaan: mengapa Gereja Katolik perlu mendengarkan suara dari saudara-saudari Kristen lainnya? Apakah dengan demikian Gereja tidak akan mengaburkan identitas Gereja Katolik sendiri? Bukankah mereka yang seharusnya mendengarkan kita? Apa yang bisa diharapkan dari mendengarkan suara mereka itu? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu menarik. Saya ingin berusaha menunjukkan dalam artikel singkat ini bahwa mendengarkan saudara-saudari Kristen yang lain sungguh dapat memperkaya tema sinodalitas Gereja.

Siapa Gereja dan komunitas Gerejani lain?

Kita berangkat dari memahami istilah. Sekitar Konsili Vatikan II sangat jelas dibedakan antara Gereja yang kelihatan dan Gereja yang tak kelihatan, Gereja sebagai institusi (organisasi), dan Gereja sebagai Tubuh Mistik. Pembedaan itu mau menunjukkan bahwa Gereja adalah realitas misteri, dan bukan melulu realitas kelihatan. Realitas misteri Gereja ini berhubungan dengan kenyataan Gereja sebagai buah rencana keselamatan Allah Tritunggal yang berkehendak mempersatukan semua manusia dalam persekutuan dengan-Nya. Dalam rencana yang sudah dicanangkan Bapa sejak penciptaan itulah, Allah pada puncak pewahyuan-Nya mengutus Allah Putra untuk menebus umat manusia, dan mengumpulkannya dalam Gereja, bagaikan dalam satu tubuh dan kawanan, dan mencurahkan Roh Kudus-Nya yang akan terus menjadi prinsip persatuan Gereja. Roh Kudus itulah yang mempersatukan Gereja dengan kepalanya, yaitu Kristus dan menganugerahi dengan kurnia yang perlu bagi perjalanannya.

Gereja Katolik, meskipun dengan rendah hati menyadari perlunya pembaruan terus menerus (LG 8), mengakui diri sebagai Gereja yang sungguh-sungguh telah dengan setia mewarisi rencana kehendak Allah yang mendirikan Gereja ini. Dengan penuh keyakinan Konsili mengakui bahwa Gereja Kristus ada (subsistit) dalam Gereja Katolik (LG 8, UR 4). Kita diingatkan di sini bahwa pembedaan antara Gereja Misteri dan Gereja Kelihatan, Gereja yang di dunia  dan Gereja yang diperkaya dengan karunia-karunia rohani, tidak mau menunjuk pada dua Gereja, tetapi satu Gereja tunggal saja, yang didirikan Kristus. Konsili Vatikan II membandingkan kesatuan itu secara analog bagaikan misteri sabda yang menjelma (LG 8). “Sebab seperti kodrat yang dikenakan oleh Sabda ilahi melayani-Nya sebagai upaya keselamatan yang hidup, satu dengan-Nya dan tak terceraikan daripada-Nya, begitu pula himpunan sosial Gereja melayani Roh Kristus, yang menghimpunkannya demi pertumbuhan Tubuh-Nya (lih Ef 4:16)” (LG. 8).

Dalam konteks pengertian itulah Gereja Katolik mengakui adanya tingkatan-tingkatan persatuan, mulai dari yang penuh ke yang kurang. Pertama, disebut ada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik yaitu mereka selain percaya pada Injil, menerima sakramen-sakramen, merayakan ekaristi, juga menjaga ajaran dan tradisi apostolik melalui uskup-uskup sebagai pengganti para Rasul yang tak terputus (succesio apostolica) serta mengakui Paus sebagai pengganti Petrus yang memimpin para Rasul. Termasuk di sini adalah Gereja Katolik Ritus Latin (Gereja Katolik Roma) dan Gereja Katolik Ritus Timur. Kedua, disebut Gereja yang terpisah adalah persekutuan yang tidak mempunyai kesatuan dengan Paus di Roma. Di sini dibedakan lagi: ada yang disebut Gereja yaitu persekutuan umat Kristen yang kendati tidak mengakui Paus di Roma, masih memiliki banyak sekali ciri-ciri kesatuan lain, termasuk khususnya ekaristi dan episkopat (uskup-uskup) yang terjamin kontinuitasnya dari para Rasul melalui succesio apostolica. Gereja-gereja yang terpisah pada skisma Timur (Gereja-gereja Ortodox) masuk dalam kelompok ini. Sering kali mereka mendapat sebutan Gereja Sesaudari, mengikuti sebutan dalam tradisi Gereja yang kuno.

Berikutnya, terdapat saudara-saudari kristen lain yang memiliki lebih banyak kekurangan dari semua unsur kesatuan penuh di atas. Mereka percaya akan Injil, serta sakramen pembaptisan, tetapi tidak mengakui imam sebagai imamat rajawi. Kendati mengakui baptisan sebagai sakramen, pengakuan akan sakramen-sakramen lain, termasuk ekaristi, kurang nampak.  Begitu pula para gembala mereka tidak terjamin oleh suksesio apostolik, serta tidak mengakui Paus di Roma sebagai pemimpin. Karena iman dan baptisan, mereka layak disebut Kristen, namun Gereja Katolik kurangnya unsur-unsur kesatuan  itu menyebut mereka sebagai komunitas-komunitas gerejani.

Pembedaan antara Gereja dan Komunitas Gerejani secara konsekuen muncul di dalam dokumen Gereja (bdk. Unitatis Redintegratio, Dominus Iesus, Gereja Sesaudari dsb), namun dalam praktek di Indonesia umumnya kita tidak membedakannya. Kita biasa menyebut saudara-saudari kita dengan sebutan Gereja juga. Secara praktis hal ini cukup menguntungkan relasi kita dengan saudara-saudari Kristen lainnya, meskipun secara teologis kita tahu membedakannya.

Saudara-saudari seperjalanan

Tema Gereja Sinodal memasukkan dialog dengan saudara-saudari Kristen lainnya sebagai salah satu tema wajib yang harus direfleksikan. Beberapa alasan teologis dan praksis dapat diberikan di sini

  1. Meskipun ada banyak gereja dan komunitas gerejani, sesungguhnya hanya ada satu Gereja saja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Gereja ini merangkul keanekaragaman, gereja-gereja setempat, gereja-gereja khusus dan seluruh umat yang Allah kumpulkan sendiri dalam Yesus Kristus. Saudara-saudari kita dari persekutuan gereja yang berbeda-beda itu juga termasuk dalam Persekutuan Gereja Kristus. Meskipun menyebut bahwa mereka karena berbagai hambatan tidak termasuk dalam kesatuan penuh dalam Gereja Katolik, tak ragu-ragu Gereja Katolik menyebut saudara-saudari ini sebagai Kristen dan saudara-saudari dalam Tuhan (UR 3). Pantaslah Gereja katolik merangkul mereka dengan sikap bersaudara penuh hormat dan cinta kasih.
  2. Dekrit Konsili Vatikan II tentang Ekumene mengajak kita menyadari karya-karya Roh Kudus yang juga ada dalam diri saudara-saudari Kristen yang lain. Ada banyak sekali unsur dan nilai yang sangat berharga yang bisa kita temukan di luar kawasan Gereja Katolik seperti: “Sabda Allah dalam Kitab suci, kehidupan rahmat, iman, harapan dan cinta kasih, begitu pula kurnia-kurnia Roh kudus lainnya yang bersifat batiniah dan unsur-unsur lahiriah.” Selain itu juga ibadat-ibadat mereka yang beraneka ragam itu sering dialami sebagai saluran rahmat yang menghantar banyak orang keselamtan. Gereja Katoli mengakui bahwa rahmat itu tentulah bersumber pada Kristus dan mengantar kepada-Nya. “Sebab Roh Kristus tidak menolak untuk menggunakan mereka sebagai upaya-upaya keselamatan, yang kekuatannya bersumber pada kepenuhan rahmat serta kebenaran sendiri, yang dipercayakan kepada Gereja katolik”(UR 3).
  3. Kita bisa belajar dari saudara-saudari Kristen lain. Meskipun kepada Gereja Katolik dipercayakan anugerah yang begitu besar secara penuh dan lengkap, seringkali kekayaan itu sendiri kurang nampak dan kurang dihayati dalam Gereja Katolik. Akibatnya wajah Gereja kurang bersinar sebagaimana seharusnya. Apa yang dihayati dan dipraktekkan dalam saudara-saudari Kristen lain seringkali mengingatkan kita akan harta rohani yang sering kita lupakan. Misalnya kita bisa belajar menghayati sukacita di dalam mendengarkan sabda Tuhan, belajar mencintai Kitab Suci dengan membacanya secara lebih tekun. Kita bisa juga belajar dalam hal pelayanan persaudaraan, menghayati hidup dalam Roh Kudus beserta karunia-Nya. Meskipun semua nilai dan harta rohani ini sudah dipercayakan pada kita, nilai-nilai itu bisa saja kadang-kadang masih samar-samar saja.  Di situlah kita bisa berjalan bersama dan berjalan bersama sebagai satu keluarga Gereja yang tunggal. Keterbukaan belajar mendorong pertobatan menuju kesejatian iman dan hidup.
  4. Selain ikatan Gereja, kita memiliki ikatan kesatuan yang lain, seperti misalnya ikatan keluarga, ikatan kebertetanggaan atau ikatan sosial masyarakat, ikatan profesi. Ikatan-ikatan semacam ini sering terjadi secara natural dan melibatkan orang-orang secara lintas agama dan bangsa. Ini mengingatkan kita akan jenis dialog yang lebih bersifat praktis, yang dikenal dengan dialog kehidupan.

Dalam laporan penelitian di Keuskupan Manado bentuk-bentuk dialog seperti bermacam-macam. Tetangga-tetangga saling tolong menolong. Mereka saling mengunjungi, terlibat dalam iuran Rukun Keluarga dan bergotong royong ketika ada duka atau pada kesempatan orang berpesta atau acara lainnya. Di daerah Sulawesi Tengah orang-orang berdiskusi dalam keseharian tentang kebun atau ternak mereka. Sedangkan pada hari Raya keagamaan, mereka mengisi dialog ini dengan ibadat ekumene dan perayaan bersama.

Sikap dan Praxis untuk Lebih Mendengarkan demi Communio, Participatio dan Missio

Mendengarkan Roh Kudus adalah kunci utama dalam perjalanan Gereja Synodal. Untuk mendengarkan dibutuhkan baik perjumpaan maupun keheningan untuk berdiscernment. Dalam bahasa sinode, Perjumpaan dengan saudara-saudari Kristen lain termasuk dalam aspek Communio. Di dalamnya ada saling kenal, saling memberi informasi dan saling memahami. Ada saling berbagi suka cita, saling membantu dalam duka, maupun saling menguatkan iman dan harapan. Kadang-kadang tentu saja ada ketidaksepakatan tertentu, khususnya dalam hal-hal yang menjadi kekhasan Gereja  masing-masing. Namun communio tetap akan dipersubur oleh perbedaan-perbedaan itu karena semangat perjumpaan juga merangkul sikap menghargai. Kesadaran bahwa kita beriman pada Yesus Kristus kiranya membuat kita bisa tetap berjumpa bersama dan bersaudara.

Justru perbedaan itulah yang menjadi modal kuat bagi participatio. Masing-masing menyumbangkan karunia yang merupakan buah-buah Roh Kudus yang dialami oleh Gereja masing-masing. Participatio mengandaikan keterlibatan. Belajar dari saudara-saudari Kristen lain dalam hal kegiatan pewartaan, misalnya, orang Katolik bisa lebih aktif lagi dalam memberika kesaksian iman mereka. Banyak yang malu-malu karena takut salah. Banyak orang Katolik terlalu klerikalistis, menunggu para imam saja, dan urang berani menemukan pengalaman dengan Injil sebagai pegangan hidup.

Di Manado ada kebiasaan yang baik, dimana orang Kristen lain dengan penuh khusuk suka datang menghibur orang yang berduka, termasuk bila yang meninggal orang Katolik. Mereka menyanyi penuh keyakinan dan harapan. Orang Katolik juga bisa belajar, menemukan lagu yang mengandung pesan harapan agar dapat menguatkan saudara-saudari yang membutuhkan. Ada masih banyak contoh lain.

Participatio bukan hanya berarti terlibat dalam suatu kegiatan saja, tetapi juga kesiap sediaan hati untuk bertobat sesuai dengan tuntunan roh. Roh akan menuntun kepada kebenaran, semakin menuju pada Kristus. Maka memang sering kali menuntut keterlibatan hati, dan bukan sekedar fisik. Kita bisa belajar membaca Kitab Suci, atau bermeditasi. Kita bisa menimba kehangatan dalam pertemuan mingguan, atau memperdalam penghayatan aspek misteri dalam liturgi-liturti. Demikian pula kita bisa berbagi keprihatinan sosial dan bekerjasama di dalam menanggulangi penyakit masyarakat.

Akhirnya communio dan participatio mengalir pada missio, perutusan bersama. Bila orang Kristen saling membantu dan mendukung, kesaksian kita akan keselamatan dalam Kristus akan mengarah secara lebih kuat ke arah dunia yang lebih luas. “Inilah tandanya bahwa kalian adalah murid-muridKu, sabda Tuhan, “yaitu bila kalian saling mengasihi satu sama lain.” (Yoh. 15).

Perpecahan Gereja bukan hanya tidak dikehendaki Kristus tetapi juga merupakan skandal dalam bagi hakikat Gereja. Namun sikap melulu menyalahkannya, tidak akan menambah apapun bagi Kerajaan Allah. Akan sangat berguna bila kita membangun praksis berjalan bersama, demi kesaksian bersama akan Kerjaan Allah. Yang paling penting adalah dari semua ini adalah kesediaan untuk membarui diri dan bertobat: melalui doa bersama, dialog iman dan bekerja sama membangun dunia yang lebih sejahtera.

Bahan Bacaan

  1. Unitatis Redintegratio, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Ekumene, 21 November 1964
  2. Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja, 21 November 1964
  3. Ut Unum Sint, Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang Komitmen Ekumene, 25 Mei 1995.
  4. Gereja-gereja Sesaudari, Dokumen dari Kongregrasi untuk Ajaran Iman tanggal 30 Juni 2000.
  5. Dominus Iesus, Dokumen dari Kongregrasi untuk Ajaran Iman: Pernyataan tentang Unisitas dan Universalitas Penyelamatan Yesus Kristus dan Gereja, 6 Agustus 2000.

Penulis : Gregorius Hertanto Dwi Wibowo, STF Seminari Pineleng

Berikan Komentar

Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin